Oleh: Hasanul Rizqa
Sebelum penerapan kalender Hijriyah atau Kamariyah, masyarakat Arab biasa menamakan tahun dengan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di dalamnya. Sebagai contoh, Tahun Gajah, yang di dalamnya Nabi Muhammad SAW lahir, disebut demikian karena ketika itu pasukan bergajah yang dipimpin Abrahah hendak merobohkan Ka’bah. Ada pula Tahun Perpisahan (Sanat al-Wadaa’), yakni bertepatan dengan tahun ke-10 sejak hijrahnya Nabi SAW ke Madinah. Dinamakan begitu karena di dalamnya al-Musthafa melaksanakan ibadah haji untuk pertama dan sekaligus terakhir kalinya.
Di sepanjang hayatnya, Rasulullah SAW hanya satu kali menunaikan rukun Islam kelima. Hal itu, menurut pakar hadis KH Ali Mustafa Yaqub (1952-2016) dalam sebuah artikel di Harian Republika (2005), menunjukkan keteladanan yang patut ditiru Muslimin. Naik haji sekali saja. Bila ada kelonggaran harta, sebaiknya ibadah-ibadah sosial lebih digiatkan, semisal menyantuni anak yatim, janda, tetangga atau saudara yang kesusahan.
Haji Perpisahan (al-Hajjatu al-Wadaa’) disebut pula sebagai Haji Penyampaian (al-Hajjatu Balagh). Sebab, saat itu Rasulullah SAW menyampaikan, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan, ajaran Allah berupa diwajibkannya haji kepada seluruh umat Islam. Kemudian, pada momen tersebut beliau juga menyampaikan ayat yang menegaskan, Allah telah menyempurnakan dan meridhai agama Islam.
Haji Perpisahan berlangsung dalam konteks sesudah Pembebasan Makkah (Fath Makkah), yang terjadi pada 10 Ramadhan tahun kedelapan Hijriyah. Hingga tahun kesembilan Hijriyah, Nabi SAW semakin gencar menyebarkan dakwah, tidak hanya ke seluruh penjuru Jazirah Arab, melainkan juga negeri-negeri jiran. Semua itu dilakukan melalui berbagai cara, termasuk pengiriman para sahabat sebagai duta dan sekaligus pengajar agama ke pelbagai daerah. Metode lainnya adalah berkirim surat kepada sejumlah penguasa.
Kemudian, memasuki tahun kesembilan Hijriyah—seperti dinukil dari pendapat Ibnul Qayyim dalam kitab Zadul Ma’ad—haji mulai diwajibkan. Rasulullah SAW menunjuk Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai amirul hajj, yakni yang mempersiapkan kelancaran penyelenggaraan ibadah massal tersebut. Sang sahabat Nabi SAW memaklumatkan, khususnya kepada penduduk Makkah, agar tidak boleh lagi seorang musyrik berziarah di Masjidil Haram. Rasul SAW juga menyusulkan Ali bin Abi Thalib di belakang Abu Bakar untuk menyampaikan awal-awal surah at-Taubah—yakni ayat pertama, ketiga dan keempat— kepada masyarakat setempat. Firman Allah Ta’ala itu menegaskan pembatalan perjanjian sosial-politik antara Allah dan Rasul-Nya di satu pihak dan kaum musyrikin di pihak lain.
Bertepatan dengan tanggal 5 Dzulkaidah, Rasulullah SAW mulai memimpin Muslimin keluar dari Madinah al-Munawwarah. Pada pagi hari itu, bergeraklah dengan suka cita mereka semua. Mengutip buku Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haekal (terjemahan Ali Audah, 2014, hlm. 564-567), rombongan ini kemudian tiba di Namirah, sebuah desa sebelah timur Arafah.
Di sana, sudah dipasang kemah untuk beliau. Selanjutnya, Nabi SAW berangkat lagi hingga sampai dekat oasis di bilangan Uranah. Di tempat itulah, beliau menyeru kepada sekalian khayalak Sebagian sejarawan menyatakan, jumlah peserta ibadah haji ini mencapai 90 ribu orang. Ada pula yang menyebut totalnya sebanyak 114 ribu orang.
Inilah momen yang begitu mengharukan sekaligus membahagiakan dari serangkaian Haji Wada, ibadah haji perpisahan. Timbul perasaan haru karena Rasulullah SAW menyampaikan tanda-tanda bahwa tak lama lagi beliau akan berpulang ke rahmatullah, meninggalkan keluarga, sahabat, dan umatnya yang teramat mencintainya. Bahagia, lantaran tak lama sesudah itu turun wahyu Allah SWT yang menegaskan, agama Islam telah sempurna dan diridhai-Nya.
Maka berkumpul lautan manusia. Mereka siap menyimak penyampaian dari Rasulullah SAW. Khutbah yang akan segera beliau sampaikan ini mengandung hikmah yang luar biasa, bukan hanya bagi Muslimin, tetapi juga siapapun insan yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Kata-kata beliau abadi, diteruskan dari generasi ke generasi.
Khutbah yang masyhur
Sesudah mengucapkan syukur dan puji ke hadirat Allah SWT, Nabi Muhammad SAW berkata dengan jelas kepada khalayak. Tiap selang-seling ceramahnya, beliau menjeda untuk memberi waktu pemahaman kepada puluhan ribu atau ratusan ribu jamaah di hadapannya:
"Wahai manusia sekalian! Perhatikanlah kata-kataku ini! Saya tidak tahu, kalau-kalau sesudah tahun ini, dalam keadaan seperti ini, tidak lagi saya akan bertemu dengan kamu sekalian."
"Saudara-saudara! Bahwasannya darah kamu dan harta-benda kamu sekalian adalah suci buat kamu, seperti hari ini dan bulan ini yang suci sampai datang masanya kamu sekalian menghadap Tuhan. Dan pasti kamu akan menghadap Tuhan; pada waktu itu kamu dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatanmu. Ya, saya sudah menyampaikan ini!"
"Barangsiapa telah diserahi suatu amanat, tunaikanlah amanat itu kepada yang berhak menerimanya."
"Bahwa semua riba sudah tidak berlaku. Tetapi kamu berhak menerima kembali modalmu. Janganlah kamu berbuat zalim merugikan orang lain, dan jangan pula kamu teraniaya dirugikan. Allah telah menentukan bahwa tidak boleh lagi ada riba dan bahwa riba al-Abbas bin Abdul-Muttalib semua sudah tidak berlaku."
"Bahwa semua tuntutan darah selama masa jahiliah tidak berlaku lagi, dan bahwa tuntutan darah pertama yang kuhapuskan adalah darah Ibn Rabi'ah bin al-Haris bin Abdul-Muttalib!"
"Kemudian daripada itu, Saudara-saudara, hari ini nafsu setan yang meminta disembah di negeri ini sudah putus buat selama-lamanya. Tetapi, kalau kamu turutkan dia walaupun dalam hal yang kamu anggap kecil, yang berarti merendahkan segala amal perbuatanmu, niscaya akan senanglah dia. Oleh karena itu, peliharalah agamamu ini baik-baik."
""Saudara-saudara, menunda-nunda berlakunya larangan bulan suci berarti memperbesar kekufuran. Dengan itu, orang kafir itu sesat. Suatu tahun mereka langgar dan tahun yang lain mereka sucikan, untuk disesuaikan dengan jumlah yang sudah disucikan Allah. Kemudian, mereka menghalalkan apa yang sudah diharamkan Allah dan mengharamkan mana yang sudah dihalalkan."
"Zaman itu berputar sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Jumlah bilangan bulan menurut Allah ada 12 bulan, empat bulan di antaranya bulan suci, tiga bulan berturut-turut dan bulan Rajab antara bulan Jumadilakhir dan Sya'ban."
"Kemudian daripada itu, Saudara-saudara. Sebagaimana kamu mempunyai hak atas istri kamu, juga istrimu sama mempunyai hak atas kamu. Hak kamu atas mereka ialah untuk tidak mengizinkan orang yang tidak kamu sukai menginjakkan kaki ke atas lantai rumahmu, dan jangan sampai mereka dengan jelas membawa perbuatan keji. "
"Kalau sampai mereka melakukan itu, Allah mengizinkan kamu berpisah ranjang dengan mereka dan boleh menghukum mereka dengan suatu hukuman yang tidak sampai mengganggu.”
“Bila mereka sudah tidak lagi melakukan itu, maka kewajiban kamulah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan sopan santun. Berlaku baiklah terhadap istri kamu. Mereka itu adalah mitra yang membantumu. Mereka tidak memiliki sesuatu untuk diri mereka. Kamu mengambil mereka sebagai amanat Allah, dan kehormatan mereka dihalalkan buat kamu dengan nama Allah."
Perhatikanlah kata-kata saya ini, Saudara-saudara. Saya sudah menyampaikan ini. Ada masalah yang sudah jelas saya tinggalkan di tangan kamu, yang jika kamu pegang teguh, kamu tak akan sesat selama-lamanya: Kitabullah dan Sunnah Rasulullah."
"Wahai Manusia sekalian! Dengarkan kata-kataku ini dan perhatikan! Kamu akan mengerti, bahwa setiap Muslim saudara Muslim yang lain, dan bahwa Muslimin semua bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan (mengambil sesuatu) dari saudaranya, kecuali jika dengan senang hati diberikan kepadanya. Janganlah kamu menganiaya diri sendiri."
"Ya Allah! Sudahkah kusampaikan (ajaran-Mu)?"
Sementara Nabi SAW mengucapkan kalimat-kalimat itu, seseorang di dekat beliau yakni Rabi'ah mengulangi kalimat demi kalimat, sambil meminta kepada orang banyak memerhatikan pesan Rasul SAW dengan penuh khidmat.
Nabi SAW juga menugaskan dia menanyai mereka, misalnya Rasulullah bertanya, "Hari apakah ini?"
Serentak mereka menjawab, "Hari Haji Akbar!"
Nabi bertanya lagi, "Katakanlah kepada mereka, bahwa darah dan harta kamu oleh Allah disucikan, seperti hari ini yang suci, sampai datang masanya kamu sekalian bertemu Tuhan."
Setelah sampai pada penutup kata-katanya itu, beliau berkata lagi:
"Ya Allah! Sudahkah kusampaikan?"
Maka serentak dari segenap penjuru, lautan manusia di hadapan beliau itu menjawab, "Ya!"
Lalu beliau berkata, "Ya Allah, saksikanlah ini."
Selesai menyampaikan khutbahnya itu, Rasulullah SAW turun dari untanya. Beliau masih di tempat itu hingga memasuki waktu shalat ashar.
Kemudian, beliau menaiki kembali untanya menuju Sakharat. Maka pada saat itulah, Nabi SAW membacakan firman Allah SWT yang turun: Alquran surah al-Maidah ayat ketiga. Artinya, "Pada hari ini telah Aku (Allah) sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu."
Mendengar itu, tiba-tiba Abu Bakar menangis. Saat ditanya orang-orang, dia mengungkapkan perasaannya. Dengan selesainya risalah, maka sudah dekat pula saatnya Nabi SAW kembali kepada Rabbnya.
Pada hari-hari atau pekan selanjutnya, Rasulullah Muhammad SAW tidak pernah lagi tampil dalam shalat berjamaah. Untuk menggantikan beliau memimpin jamaah, Abu Bakar ditunjuk. Kepada Ali bin Abu Thalib pula, Rasulullah SAW berpesan bahwa bila tiba waktunya, ia memandikan dan mengafani jenazah beliau.
Tidak lama setelah itu, pada hari Senin tanggal 12 Rabi'ul Awal tahun ke-11 Hijriyah, sang manusia agung menghembuskan nafasnya yang terakhir. Nabi SAW kembali kepada Allah, Tuhan Maha Esa yang telah mengutusnya ke tengah manusia. Dialah Tuhan yang telah memuliakan hidup al-Musthafa, menjadikannya sebagai penghulu semua nabi dan rasul. Jenazah beliau dikubur di samping Masjid Nabawi saat itu. Adapun kini, usai masjid itu diperluas, makam beliau beralih menjadi ke dalam masjid, tepatnya di bagian Raudhah.
Sekurang-kurangnya, ada empat pendapat mengenai waktu dimulainya perintah berhaji. Pertama, sebagian ulama menyebutkan, haji mulai diwajibkan pada tahun keenam Hijriyah. Itu bertepatan dengan pemberlakuan Perjanjian Hudaibiyah yang mengikat antara Muslimin dan musyrikin Makkah.
Kalangan yang berpendapat demikian berpegang pada waktu turunnya Alquran surah al-Baqarah ayat ke-196. Artinya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi jika kamu terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib melakukan fidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban.
Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya 10 (hari). Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada (tinggal) di sekitar Masjidil Haram. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Diketahui, ayat tersebut turun di Hudaibiyah. Adapun Perjanjian Hudaibiyah terjadi karena Rasulullah SAW dan Muslimin yang hendak berziarah ke Baitullah dihalangi kaum musyrikin Makkah. Alih-alih berperang, pihak Quraisy lalu menawarkan atau menerima gencatan senjata. Kesepakatan dibuat kedua belah pihak di Hudaibiyah
Sejumlah sahabat sempat keberatan karena poin-poin perjanjian cenderung tampak merugikan umat Islam. Misalnya, bahwa orang Islam yang datang ke Makkah, mesti ditahan alias tidak boleh keluar dari kota tersebut hingga durasi perjanjian ini selesai. Sebaliknya, orang Makkah yang ke Madinah bisa kembali lagi ke kota asalnya.
Namun, ternyata ada hikmah di baliknya. Secara implisit, Rasul SAW hendak menjadikan Muslimin yang terlanjur ke Makkah sebagai duta Islam di hadapan masyarakat Quraisy. Adapun orang Makkah yang sampai ke Madinah dapat menyaksikan, menilai, dan bahkan mengalami sendiri, seperti apa ajaran Islam dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Benar saja. Tidak sedikit tokoh yang menjadi Muslim sesudah Perjanjian Hudaibiyah. Dua di antaranya adalah Amr bin Ash dan Khalid bin Walid.
Kembali ke soal silang pendapat tentang awal disyariatkannya haji. Sejumlah ulama tidak setuju penafsiran bahwa Allah mulai memerintahkan pelaksanaan rukun Islam kelima itu bertepatan dengan momen Perjanjian Hudaibiyah. Menurut mereka, turunnya al-Baqarah ayat ke-196 tidak berbicara ihwal awal kewajiban haji dan umrah. Firman Allah itu hanya memuat perintah untuk menyempurnakan haji yang telah diwajibkan sebelumnya.
Maka, kalangan tersebut—yang merupakan pendapat kedua dalam tulisan ini—meyakini bahwa haji mulai disyariatkan beberapa waktu sebelum itu. Yakni, tepatnya pada tahun keempat Hijriyah. Alasannya, pada saat itulah turun surah Ali Imran ayat ke-97.
Arti firman Allah tersebut: “Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”
Adapun pendapat yang ketiga menyatakan, mulai disyariatkannya haji bukan pada tah keenam atau keempat, melainkan paruh akhir tahun kesembilan Hijriyah. Momennya terjadi kira-kira setahun setelah Pembebasan Makkah. Sebelum mulai memimpin jamaah, Rasulullah SAW menunjuk Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai amirul hajj.
Tugasnya antara lain mengumumkan kepada orang-orang, khususnya penduduk Makkah, bahwa tak boleh lagi ada seorang musyrik berziarah ke Baitullah. Beliau juga menyusulkan Ali bin Abi Thalib untuk menyampaikan perihal pemutusan perjanjian antara Allah dan Rasul-Nya di satu pihak dan musyrikin di pihak lain. Itu termuat dalam surat at-Taubah ayat pertama, ketiga dan keempat.
Artinya: “(Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang musyrik yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). … Dan satu maklumat (pemberitahuan) dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa kamu tidak dapat melemahkan Allah.
Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih, kecuali orang-orang musyrik yang telah mengadakan perjanjian dengan kamu dan mereka sedikit pun tidak mengurangi (isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seorang pun yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”
Terakhir, yakni pendapat keempat, memandang bahwa haji mulai diwajibkan atas Muslimin sejak tahun ke-10 Hijriyah. Kala itu, Rasulullah SAW melaksanakan ibadah ini. Sebab, wajarlah bahwa Nabi SAW tidak patut menunda-nunda pelaksanaan haji setelah datangnya perintah kewajiban.